Senin, 09 Januari 2017

Karya Tulis Ilmiah : Pemberantasan Tindak Pidana Gratifikasi di Kabupaten Nganjuk

Pemberantasan Tindak Pidana Gratifikasi
di Kabupaten Nganjuk






Disusun oleh :
MUHAMMAD TAUFIK 1421504814
BAHASA INDONESIA (B)



TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
Jl. Semolowaru No. 45 Surabaya – Indonesia
2016/2017 



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Korupsi merupakan salah satu kata yang cukup populer di masyarakat dan telah menjadi tema pembicaraan sehari-hari. Namum demikian, ternyata masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apa itu korupsi. Pada umumnya masyarakat memahami korupsi sebagai sesuatu yang merugikan keuangan negara semata.

Padahal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada 30 jenis tindak pidana korupsi. Ke-30 jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu : i) kerugian keuangan negara; ii) suap-menyuap; iii) penggelapan dalam jabatan; iv) pemerasan; v) perbuatan curang; vi) benturan kepentingan dalam pengadaan; vii) gratifikasi.

Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan suatu hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Gratifikasi diatur dalam pasal 12B undang-undang tersebut diatas. Dalam penjelasan pasal tersebut, gratifikasi didefinisikan sebagai sesuatu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya, yang diterima dalam negeri maupun yang di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronika maupun tanpa sarana elektronika. Meskipun sudah diterangkan dalam undang-undang, ternyata masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami definisi gratifikasi, bahkan para pakar pun masih memperdebatkan hal ini.

Menurut Prof. Dr. Eddy Omar Syarif, SH., MH., Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, perbedaan gratifikasi dan suap terletak pada ada atau tidak meeting of mind pada saat penerimaan. Pada tindak pidana suap, terdapat meeting of mind antara pemberi dan penerima suap, sedangkan pada tindak pidana gratifikasi tidak terdapat meeting of mind antara pemberi dan perima. Meeting of mind merupakan nama lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, saya disini sangaja mengkaji tentang gratifikasi di Kabupaten Nganjuk dan upaya untuk memberantasnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, pengkajian dalam karya tulis ini akan difokuskan pada topik sebagai berikut:

  1. Apa yang dimaksud dengan gratifikasi?
  2. Apa saja landasan hukum tentang gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi?
  3. Apa saja kategori gratifikasi?
  4. Apa saja bentuk tindak pidana gratifikasi di pemerintahan Kabupaten Nganjuk?
  5. Bagaimana cara pelaporan gratifikasi?
  6. Bagaimana strategi untuk memberantas gratifikasi di Kabupaten Nganjuk?



C. Tujuan Penulisan
Ketujuh masalah tersebut dibahas dalam karya tulis ini dengan tujuan:

  1. Menjelaskan pengertian dari gratifikasi;
  2. Menjelaskan landasan hukum tentang gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi;
  3. Menjelaskan kategori gratifikasi;
  4. Menjelaskan bentuk tindak pidana gratifikasi di pemerintahan Kabupaten Nganjuk;
  5. Menjelaskan cara pelaporan gratifikasi;
  6. Menjelaskan strategi untuk memberantas gratifikasi di Kabupaten Nganjuk. 



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gratifikasi
Pengertian gratifikasi terdapat pada penjelasan pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa:
"yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik".

Apa bila dicermati penjelasan pasal 12B ayat (1) diatas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat : pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan diatas juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi ini bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur 12B saja.

Ketentuan tentang gratifikasi yang dianggap suap seperti diatur pada pasal 12B dan 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi tersebut berbeda dengan suap. Hal ini perlu ditegaskan mengingat selama ini masih terdapat kerancuan berpikir seolah-olah gratifikasi merupakan bentuk lain dari suap atau menyamakan gratifikasi dengan suap. Berikut sejumlah argumentasi hukum yang menegaskan bahwa gratifikasi bukanlah suap, yaitu:

Gratifikasi merupakan jenis tindak pidana baru. Hal ini ditegaskan pada sambutan pemerintah atas persetujuan RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam rapat paripurna terbuka DPR-RI tanggal 23 Oktober 2001,

"dalam rancangan undang-undang ini diatur ketentuan mengenai gratifikasi sebagai tindak pidana baru. Gratifikasi tersebut dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Namum gratifikasi tersebut tidak dianggap suap apabila penerima gratifikasi melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu yang ditentukan dan apabila tidak melaporkan dianggap suap. Dalam sistem pelaporan ini untuk menentukan ada atau tidaknya tindak pidana suap tersebut, penerima gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 atau lebih, pembuktian bahwa pemberian bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi, tetapi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 pembuktian bahwa gratifikasi sebagai suap dilakukan oleh penuntut umum."

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor: 34/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST dan Putusan Mahkamah Agung Nomor: dengan terdakwa Dhana Widyatmika menegaskan bahwa kalimat "gratifikasi yang dianggap suap" berarti gratifikasi  berbeda dengan suap atau gratifikasi bukanlah suap.
Pandangan ahli hukum & praktisi hukum, yaitu:

  1. Prof. Dr. Eddy Omar Syarif, SH., MH., Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, perbedaan gratifikasi dan suap terletak pada ada atau tidak meeting of mind pada saat penerimaan. Pada tindak pidana suap, terdapat meeting of mind antara pemberi dan penerima suap, sedangkan pada tindak pidana gratifikasi tidak terdapat meeting of mind antara pemberi dan perima. Meeting of mind merupakan nama lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional.
  2. Drs. Adami Chazawi, SH., Dosen fakultas hukum pidana universitas brawijaya. Ahli memberikan penajaman perbedaan gratifikasi dengan suap. Menurut Adami, pada ketentuan tentang gratifikasi belum ada niat jahat (mens rea) pihak penerima pada saat uang atau barang diterima. Niat jahat dinilai ada ketika gratifikasi tersebut tidak dilaporkan dalam jangka waktu 30 hari kerja, sehingga setelah melewati waktu tersebut dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Sedangkan pada ketentuan tentang suap, pihak penerima telah mempunyai niat jahat pada saat uang atau barang diterima.
  3. Djoko Sarwoko, SH., MH., mantan Ketua Muda Pidana Khusus dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Suap dan gratifikasi berbeda. Dalam kasus tangkap tangan yang dilakukan KPK, ketika tersangka melaporkan setelah ditangkap KPK sedangkan perbuatan yang mengindikasikan meeting of mind sudah terjadi sebelumnya, maka itu tidak bisa disebut gratifikasi. Pelaporan gratifikasi dalam jangka waktu 30 hari tersebut harus ditekankan pada kesadaran dan kejujuran dengan itikad baik. Dalam suap penerimaan sesuatu dikaitkan dengan berbuat atau tidak berbuat yang terkait dengan jabatan. Sedangkan gratifikasi dapat disamakan dengan konsep self assessment seperti kasus perpajakan yang berbasis pada kejujuran seseorang. 


B. Landasan Hukum Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi
Pengaturan tentang gartifikasi berdasarkan penjelasan sebelumnya diperlukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelengara negara atau pegawai negeri. Melalui pengaturan ini diharapkan penyelenggara negara atau pegawai negeri dan masyarakat dapat mengambil langkah-langkah yang tepat, yaitu menolak atau segera melaporkan gartifkasi yang diterimanya. Secara khusus gratifikasi ini diatur dalam:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


  • Pasal 12B:

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penjelasan pasal 12B ayat (1) undang-undang nomor 20 tahun 2001
Yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.


  • Pasal 12C: 

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12B ayat (1) tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyampaian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal menerima laporan, wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara,

Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


  • Pasal 16: 

Penjelasan pasal 16 menyebutkan bahwa ketentuan dalam pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

C. Kategori Gratifikasi
Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu gratifikasi yang dianggap suap dan gratifikasi yang dianggap tidak suap, yaitu:

  • Gratifikasi yang dianggap suap
Yaitu gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


  • Gratifikasi yang tidak dianggap suap

Yaitu gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kegiatan resmi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang sah dalam pelaksaan tugas, fungsi dan jabatannya dikenal dengan kedinasan. Dalam menjalankan kedinasannya pegawai negeri atau penyelenggara negara sering dihadapkan pada peristiwa gratifikasi sehingga gratifikasi yang dianggap suap dapat dibagi menjadi 2 sub kategori yaitu gratifikasi yang tidak dianggap suap yang terkait kedinasan dan gratifikasi yang tidak dianggap suap yang tidak terkait kedinasan.


Gratifikasi yang tidak dianggap suap yang terkait dengan kegiatan kedinasan meliputi perimaan dari:

  1. Pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis.
  2. Pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatann kedinasan, seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur pada standar biaya yang berlaku di instasi penerima, sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat konflik kepentingan atau tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima.


D. Bentuk Tindak Pidana Gratifikasi di Pemerintahan Kabupaten Nganjuk

Bupati Nganjuk Taufiqurrahman diduga menerima gratifikasi terkait jabatannya. Sebelumnya, ia juga disangka terlibat korupsi dalam lima proyek infrastruktur di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2009. Ia diduga melakukan atau turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan lima proyek infrastruktur. Lima proyek yang dimaksud terdiri dari:

  1. Pembangunan Jembatan Kedungingas, 
  2. Proyek rehabilitasi saluran Melilir Nganjuk, 
  3. Proyek perbaikan Jalan Sukomoro sampai Kecubung, 
  4. Proyek rehabilitasi saluran Ganggang Malang,
  5. Proyek pemeliharaan berkala Jalan Ngangkrek ke Blora di Kabupaten Nganjuk.

Menurut Febri Diansyah, juru bicara KPK itu mengungkapkan "Taufiqurrahman dijerat dengan dua kasus yakni dugaan korupsi terkait pelaksanaan sejumlah proyek di Kabupaten Nganjuk serta dugaan penerimaan gratifikasi. Dalam kasus pertama, Taufiqurrahman diduga secara langsung maupun tidak langsung dengan sengaja dan turut serta dalam pemborongan, pengadaan dan penyewaan terkait lima proyek sepanjang tahun 2009 di Kabupaten Nganjuk. Sementara terkait kasus dugaan gratifikasi, Taufiqurrahman diduga telah menerima hadiah selama menjabat sebagai Bupati Nganjuk. Taufiqurrahman merupakan Bupati Nganjuk periode 2008-2013 dan 2013-2018."

  Ia mengatakan dalam pasal gratifikasi ada penerimaan-penerimaan yang belum tentu teridentifikasi secara jelas memiliki hubungan dengan jabatan penyelengara negara. Atas dugaan tersebut, Bupati Nganjuk disangka melanggar pasal 12 huruf i dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


E. Cara Pelaporan Gratifikasi
Ada beberapa pejabat atau mantan pejabat yang melaporkan atau mengembalikan uang atau barang yang patut diduga berhubungan gratifikasi melebihi batas waktu 30 (tiga puluh) hari, namum statusnya tidak ditetapkan sebagai tersangka. Jadi penerapan pasal mengenai gratifikasi ini sebenarnya masih tumpul.

Gratifikasi ini erat sekali hubungannya dengan penghasilan pegawai negeri kita yang relatif masih sangat kecil, sehingga pemberian atau gratifikasi ini dianggap sebagai penghasilan tambahan. Gratifikasi merupakan tindak pidana korupsi bila dapat dibuktikan apakah ketika gratifikasi itu terjadi bertentangan atau berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara atau tidak.

setiap pegawai negeri atau penyelanggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada komisi pemberantasan korupsi, dengan tata cara sebagai berikut:
Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
Formulir sebagaimana dimaksud pada nomor 1 sekurang-kurangnya memuat:

  • Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
  • Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
  • Tempat dan waktu penerima gratifikasi;
  • Uraian jenis gratifikasi yang diterima;
  • Nilai gratifikasi yang diterima.



F. Strategi untuk Memberantas Gratifikasi di Kabupaten Nganjuk
Untuk   memberantas tindak pidana gratifikasi di Kabupaten Nganjuk perlu dilakukan cara sebagai berikut:

  1. Dengan adanya pengetahuan tentang gratifikasi 
  2. Khususnya pada level pegawai lapangan. Pada umumnya, para pegawai level tersebut tidak begitu mengerti tindakan yang tergolong gratifikasi. 
  3. Dengan meningkatkan kesadaran melaporkan gratifikasi
  4. Kesadaran ini sangat penting memberantas kultur "uang pelicin" yang terjadi selama ini.
  5. Dengan cara meminimalkan psikologis para pelapor gratifikasi
  6. Biasanya penyelenggara negara enggan melaporkan gratifikasi yang diterima karena takut imbas di belakangnya (dapat ancaman dari pemberi atau semacamnya). 



BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
berdasarkan pembahasan, dapat ditarik beberapa simpulan berikut.

  1. Gratifikasi merupakan jenis tindak pidana baru yang mempunyai perbedaan dengan suap, yaitu terletak pada ada atau tidaknya meeting of mind pada saat penerimaan.
  2. Landasan hukum gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi adalah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  3. Gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu gratifikasi yang dianggap suap dan gratifikasi yang dianggap tidak suap.
  4. Bupati Nganjuk Taufiqqurahman diduga menerima gratifikasi terkait jabatannya dan diduga melakukan atau turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan lima proyek infrastruktur yaitu: Pembangunan jembatan Kedungingas, Proyek rehabilitasi saluran Melilir Nganjuk, Proyek perbaikan Jalan Sukomoro sampai Kecubung, Proyek rehabilitasi saluran Ganggang Malang dan Proyek pemeliharaan berkala Jalan Ngangkrek ke Blora di Kabupaten Nganjuk.
  5. Tata cara melaporkan gratifikasi adalah dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi sebagai berikut: nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi, jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara, tempat dan waktu penerima gratifikasi, uraian jenis gratifikasi yang diterima dan nilai gratifikasi yang diterima.
  6. Strategi untuk memberantas gratifikasi di Kabupaten Nganjuk adalah dengan cara adanya pengetahuan tentang gratifikasi, meningkatkan kesadaran melaporkan gratifikasi dan meminimalkan psikologis para pelapor gratifikasi.




B. Saran
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak terkait sebagai berikut:

  1. Pemerintah Kabupaten Nganjuk dan masyarakat harus selalu waspada dalam menanggulangi permasalahan ini.
  2. Pemerintah Kabupaten Nganjuk harus bersikap lebih menghargai rakyat saat berada di bawah perjanjian akan membawa kepemerintahan yang lebih baik, setelah diatas seakan janji itu sampah dengan begitu mudahnya dibuang.
  3. Dengan mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dan senantiasa berjanji kepada diri sendiri untuk tidak melakukannya hal yang sama dikemudian hari, pasti pemimpin atau pejabat negara tidak akan melakukan tindak pidana korupsi atau gratifikasi. 



DAFTAR PUSTAKA

www.kpk.go.id/gratifikasi
KOMPAS.com
makalahkita1.blogspot.com
www.pengertianpakar.com
www.rudipradisetia.com